Sepak bola Indonesia “Termakan” Kekuatannya Sendiri

Pelaku olahraga lain di Indonesia pasti iri terhadap segenap insan sepak bola negeri ini. Bagaimana tidak, mana ada cabang olahraga yang selalu mendapat perhatian khusus dari dua presiden terakhir Indonesia?

Ketika masih menjabat sebagai presiden, Susilo Bambang Yudhoyono bukan hanya berkomentar. Dia menunjukkan kepedulian terhadap sepak bola dengan menggagas Kongres Sepak bola Nasional di Malang pada 30 hingga 31 Maret 2010. Kini, sesudah Joko Widodo menjadi presiden, sepak bola tetap mendapat perhatian ekstra. Wujudnya Joko mendukung segenap upaya Menpora Imam Nahrawi untuk memperbaiki sepak bola Indonesia.

Insan olahraga lain pantas jengah terhadap keistimewaan sepak bola di negeri kita. Padahal, cabang olahraga ini kurang berprestasi. Lebih banyak cabang olahraga lain yang mampu mengharumkan nama bangsa. Tapi, mereka tetap miskin sorotan.

Kepedulian para presiden Indonesia menunjukkan kelebihan sepak bola. Popularitas si kulit bulat di negeri kita sungguh besar. Tanpa riset sekalipun, siapa pun pasti tahu bahwa sepak bola merupakan olahraga yang paling digemari rakyat Indonesia.

Sayang sekali posisi hebat di mata rakyat malah menjadi bumerang yang melukai sepak bola Indonesia. Sepak bola yang populer menjadi sarana politik berbagai pihak.

Fakta ini tidak hanya disadari oleh orang-orang Indonesia. Pihak asing juga mengetahuinya. Salah satunya adalah eks pemain Liverpool asal Inggris, John Barnes. Berkomentar kepada ESPN, Barnes yang berulangkali datang ke sini bisa mencium aroma politik yang kuat di sepak bola Indonesia.

“Saya pernah ada di belahan dunia itu (Indonesia, Red.) Sayang sekali politik memainkan peran besar di sepak bola,” kata Barnes.

KORBAN BENTROK KEPENTINGAN

Sepak bola bagaikan “termakan” oleh kelebihannya sendiri. Massa dan atensi yang besar merupakan gula bagi politik. Para politikus bisa diibaratkan sebagai semut. Mereka akan berupaya mendekati gula agar bisa merasakan rasa manisnya.

Ketika politik bermain pasti ada kepentingan yang diusung. Inilah sesungguhnya pangkal persoalan sepak bola Indonesia. Bentrok kepentingan sering terjadi di antara para pelaku sepak bola itu sendiri. Tak ayal, konflik tiada henti menerpa Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) sebagai wujud dari bentrokan yang kepentingan.

Meski begitu, menjadikan sepak bola sarana politik sesungguhnya tidak selalu salah. Sebagai hal populer mustahil membuang aroma politik dari sepak bola. Namun, cara yang dilakukan hendaknya elegan.

Salah satu contohnya ada di Italia. Silvio Berlusconi terang-terangan memanfaatkan klubnya, AC Milan, sebagai kendaraan politiknya. Hasilnya, Berlusconi pernah beberapa kali menduduki kursi Perdana Menteri Italia.

Akan tetapi, dalam melakukannya Berlusconi tidak menghancurkan sepak bola. Dia berupaya membuat AC Milan menjadi tim hebat yang berprestasi. Tujuannya agar Milan pantas dijadikan personifikasi dirinya. Ujung-ujungnya, ketika I Rossoneri berjaya, tanpa sadar publik menaruh simpati dan kepercayaan terhadap Berlusconi.

Sayangnya, politik di sepak bola Indonesia tidak dilakukan dengan elegan. Kondisi inilah yang membuat sepak bola di negeri tidak maju-maju dan ribut melulu.

Tinggalkan komentar